Pernikahan memang memiliki fungsi melegalkan hubungan seksual yang dilakukan seorang pria dan seorang wanita, tapi apakah dengan demikian berarti setiap hubungan seksual yang dilakukan dalam pernikahan itu legal? Bagi saya, dan setiap orang yang mengetahui dan meyakini adanya konsep marital rape, jawabannya adalah tidak selalu. Soalnya, ada kondisi tertentu yang dapat membuat hubungan seksual dalam pernikahan dikategorikan sebagai kejahatan, lebih spesifik lagi, sebagai perkosaan. Kondisi tersebut adalah ketiadaan persetujuan dari salah satu pihak. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa marital rape (perkosaan dalam pernikahan) adalah pemaksaan aktivitas atau hubungan seksual oleh satu pihak kepada pihak lainnya dalam ikatan pernikahan. Namun, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan marital rape adalah perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri karena hal tersebut yang lebih umum terjadi dan sudah tercatat datanya.
Kalau kita bicara tentang perkosaan, rasanya hampir semua orang akan setuju bahwa perkosaan adalah tindakan kriminal yang harus diajukan ke meja hijau dan pelakunya dihukum. Tapi bagaimana dengan marital rape? Ada dua pendapat dasar tentang ini, yang pertama adalah marital rape dianggap sama seperti perkosaan yang korbannya bukan istri sedangkan pendapat kedua adalah bahwa suami tidak dapat diadili atas tuduhan marital rape. Ada pula pendapat jenis ketiga yang berada di antara keduanya. Saya pribadi cenderung berpandangan bahwa marital rape adalah suatu kejahatan. Seorang istri memang wajib melayani hasrat seksual suaminya, tapi dengan catatan selama ia juga menghendakinya. Jadi tidak disebabkan paksaan, ancaman, apalagi kekerasan (kalau rayuan atau bujukan, sih tak jadi soal). Sebagai tambahan, marital rape adalah bentuk pelanggaran HAM, sebagaimana yang dideklarasikan oleh United Nations High Commissioner for Human Rights.
Penelitian yang dilakukan oleh Finkelhor dan Yllo (1985) memprediksi bahwa sekitar 10-14% perempuan yang menikah di AS pernah atau akan diperkosa suaminya. Diperkirakan statistiknya tak jauh berbeda di Indonesia (kalau ada entah siapa yang mau mengumpulkan datanya dengan komprehensif). Namun, bahkan di AS yang terkenal dengan feminisme modern sekalipun perumusan undang-undang dan pelaksanaannya belum benar-benar memuaskan. Di seluruh negara bagian marital rape sudah dinyatakan ilegal, tapi masih ada saja pembedaan perlakuan, seperti hukuman untuk marital rape lebih ringan dari perkosaan lainnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Di negara ini, marital rape belum diatur secara legal. KUHP ataupun RUU KUHP tahun 2000 tidak mengatur perkara ini. Yang ada dalam KUHP hanyalah perkosaan di luar pernikahan. Pelaku marital rape bisa dijaring lewat pasal-pasal tentang penganiayaan (pasal 351, 353, dan 356), bukan perkosaan. UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan malah tidak menyebut sama sekali tentang itu. Paling-paling yang ada cuma hak dan kewajiban suami-istri secara umum (pasal 30-34). Bahkan dalam UU Penghapusan KDRT tidak dicantumkan pasal mengenai marital rape.
Soal lambatnya marital rape masuk dalam perundangan adalah hambatan pertama kalau seorang istri hendak mengadukan suami yang memperkosanya ke pengadilan. Problem kedua yang akan muncul adalah andaipun kasus tersebut disidangkan, meski hukum secara teori tidak membedakan antara perkosaan dengan korban wanita asing atau istri, pada prakteknya tidak demikian. Sulit untuk membuktikan bahwa perkosaan oleh suami telah terjadi. Jika tidak ditemukan bukti adanya kekerasan, perlu bukti lain yang lebih tinggi standarnya untuk bisa memvonis bersalah sang suami. Yang repot itu kalau tidak ada bukti sama sekali, jadi cuma omongan versus omongan. Biasanya yang jadi pertimbangan adalah sejarah relasi seksual antara si korban dan pemerkosa.
Selagi marital rape bagi banyak orang masih pada tingkat ide dan pembicaraan, telah banyak wanita yang menjadi korban dan merasakan berbagai dampak negatif marital rape. Kita mulai dari dampak fisik marital rape. Hubungan seksual yang dipaksakan dapat menimbulkan rasa sakit pada organ reproduksi wanita. Ini dapat berkembang menjadi dampak psikologis, yaitu wanita jadi takut berhubungan seksual. Korban marital rape juga dapat merasa terasing dari masyarakat, merasa perkosaan tersebut adalah kesalahannya atau memberontak pada suaminya.
Menurut pemikiran awam, barangkali karena istri telah pernah berhubungan seksual dengan suaminya, marital rape tidaklah setraumatik kalau diperkosa orang asing. Beberapa penelitian membuktikan yang terjadi justru sebaliknya. Hal tersebut bisa disebabkan karena kurangnya dukungan untuk korban, terjadi pengkhianatan atas kepercayaan istri, pengaruh sejarah hubungan suami-istri dan kecenderungan pengulangan marital rape. Sang istri mungkin tidak menyadari bahwa yang terjadi adalah kejahatan seksual sehingga kemarahan, depresi dan muak yang dirasakannya dianggap suatu kegilaan. Karena si pelaku adalah orang yang dicintai, korban akan sulit memutuskan mana orang yang dianggap aman dan mana yang berbahaya. Korban juga terbelah antara cinta dan benci pada suaminya, merasa kehilangan kontrol dan rendah diri. Rumah bukan lagi tempat yang aman untuknya karena justru di situlah perkosaan terjadi. Lebih sulit lagi kalau sang suami adalah pencari nafkah utama dan ada tekanan sosial dan agama untuk mempertahankan pernikahan.
Kalau kita bicara tentang perkosaan, rasanya hampir semua orang akan setuju bahwa perkosaan adalah tindakan kriminal yang harus diajukan ke meja hijau dan pelakunya dihukum. Tapi bagaimana dengan marital rape? Ada dua pendapat dasar tentang ini, yang pertama adalah marital rape dianggap sama seperti perkosaan yang korbannya bukan istri sedangkan pendapat kedua adalah bahwa suami tidak dapat diadili atas tuduhan marital rape. Ada pula pendapat jenis ketiga yang berada di antara keduanya. Saya pribadi cenderung berpandangan bahwa marital rape adalah suatu kejahatan. Seorang istri memang wajib melayani hasrat seksual suaminya, tapi dengan catatan selama ia juga menghendakinya. Jadi tidak disebabkan paksaan, ancaman, apalagi kekerasan (kalau rayuan atau bujukan, sih tak jadi soal). Sebagai tambahan, marital rape adalah bentuk pelanggaran HAM, sebagaimana yang dideklarasikan oleh United Nations High Commissioner for Human Rights.
Penelitian yang dilakukan oleh Finkelhor dan Yllo (1985) memprediksi bahwa sekitar 10-14% perempuan yang menikah di AS pernah atau akan diperkosa suaminya. Diperkirakan statistiknya tak jauh berbeda di Indonesia (kalau ada entah siapa yang mau mengumpulkan datanya dengan komprehensif). Namun, bahkan di AS yang terkenal dengan feminisme modern sekalipun perumusan undang-undang dan pelaksanaannya belum benar-benar memuaskan. Di seluruh negara bagian marital rape sudah dinyatakan ilegal, tapi masih ada saja pembedaan perlakuan, seperti hukuman untuk marital rape lebih ringan dari perkosaan lainnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Di negara ini, marital rape belum diatur secara legal. KUHP ataupun RUU KUHP tahun 2000 tidak mengatur perkara ini. Yang ada dalam KUHP hanyalah perkosaan di luar pernikahan. Pelaku marital rape bisa dijaring lewat pasal-pasal tentang penganiayaan (pasal 351, 353, dan 356), bukan perkosaan. UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan malah tidak menyebut sama sekali tentang itu. Paling-paling yang ada cuma hak dan kewajiban suami-istri secara umum (pasal 30-34). Bahkan dalam UU Penghapusan KDRT tidak dicantumkan pasal mengenai marital rape.
Soal lambatnya marital rape masuk dalam perundangan adalah hambatan pertama kalau seorang istri hendak mengadukan suami yang memperkosanya ke pengadilan. Problem kedua yang akan muncul adalah andaipun kasus tersebut disidangkan, meski hukum secara teori tidak membedakan antara perkosaan dengan korban wanita asing atau istri, pada prakteknya tidak demikian. Sulit untuk membuktikan bahwa perkosaan oleh suami telah terjadi. Jika tidak ditemukan bukti adanya kekerasan, perlu bukti lain yang lebih tinggi standarnya untuk bisa memvonis bersalah sang suami. Yang repot itu kalau tidak ada bukti sama sekali, jadi cuma omongan versus omongan. Biasanya yang jadi pertimbangan adalah sejarah relasi seksual antara si korban dan pemerkosa.
Selagi marital rape bagi banyak orang masih pada tingkat ide dan pembicaraan, telah banyak wanita yang menjadi korban dan merasakan berbagai dampak negatif marital rape. Kita mulai dari dampak fisik marital rape. Hubungan seksual yang dipaksakan dapat menimbulkan rasa sakit pada organ reproduksi wanita. Ini dapat berkembang menjadi dampak psikologis, yaitu wanita jadi takut berhubungan seksual. Korban marital rape juga dapat merasa terasing dari masyarakat, merasa perkosaan tersebut adalah kesalahannya atau memberontak pada suaminya.
Menurut pemikiran awam, barangkali karena istri telah pernah berhubungan seksual dengan suaminya, marital rape tidaklah setraumatik kalau diperkosa orang asing. Beberapa penelitian membuktikan yang terjadi justru sebaliknya. Hal tersebut bisa disebabkan karena kurangnya dukungan untuk korban, terjadi pengkhianatan atas kepercayaan istri, pengaruh sejarah hubungan suami-istri dan kecenderungan pengulangan marital rape. Sang istri mungkin tidak menyadari bahwa yang terjadi adalah kejahatan seksual sehingga kemarahan, depresi dan muak yang dirasakannya dianggap suatu kegilaan. Karena si pelaku adalah orang yang dicintai, korban akan sulit memutuskan mana orang yang dianggap aman dan mana yang berbahaya. Korban juga terbelah antara cinta dan benci pada suaminya, merasa kehilangan kontrol dan rendah diri. Rumah bukan lagi tempat yang aman untuknya karena justru di situlah perkosaan terjadi. Lebih sulit lagi kalau sang suami adalah pencari nafkah utama dan ada tekanan sosial dan agama untuk mempertahankan pernikahan.
Komentar
Posting Komentar