Langsung ke konten utama

PENGKAJIAN DALAM PERUMUSAN SUATU PERBUATAN PIDANA

Dalam buku II dan III KUHP disitu di jumpai beberapa banyak rumusan-rumusan perbuatan berserta sangsi pidanya, hal ini dimaksudkan untuk menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang untuk dilakukan. Maksud dari pengertian tersebut agar dapat di capai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi cirri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dapat di bedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang.
Dalam suatu delik Pencurian misalanya, unsur-unsur pokok sudah ditentukan yaitu mengambil barang orang lain, tetapi tidak tiap-tiap mengambil barang orang lain dapat secara otomatis dikatan melanggar pasal 362 KUHP, karena dalam pasal 362 KUHP disamping unsur-unsur tadi, ditambah dengan elemen lain yaitu dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum.
Adapun cara untuk mengupas perbuatan yang dilarang menjadi beberapa elemen atau unsur suatu delik seperti tersebut diatas, tidak dapat dilakukan begitu saja, karena ada kalanya hal itu disebabkan karena pengupasan semacam itu belum mungkin, atau dianggap kurang baik pada saat membuat aturan, sehingga pengertian yang umum dari perbuatan yang dilarang saja yang dicantumkan dalam rumusan delik, sedangkan batas-batasnya pengertian tadi diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek pengadilan.
Contoh kasus dari pengertian cara tersebut diatas adalah pasal 351 KUHP yaitu penganiayaan dan pasal 297 yaitu perdagangan wanita ( vrouwen handel ).
Mengenai penganiayaan dalam teori pengertian tersebut telah dikupas menjadi menimbulkan nestapa ( leed ) atau rasa sakit ( pijin ) pada orang lain.
Tapi mengenai perdagangan wanita, batas-batas pengertiannya hingga sekarang belum di ketemukan, karena hanya di tentukan pengertian umum saja, maka cara merumuskan perbuatan pidana semacam ini, dikatakan memberi kualifikasinya perbuatan saja.
Dalam KUHP selain dari menentukan unsur-unsur dari perbuatan yang dilarang disitu juga diberi kualifikasi perbuatan.
Misalnya pada pasal 362 dan 480 tadi, disamping penentuan elemen-elemenya juga ditentukan bahan kualifikasinya adalah “pencurian” dan “penadahan”.
Berkaitan dengan cara yang demikian ini, maka diajukan persoalan, apakah dalam hal yang demikian, kualifikasi harus dipandang sebagai suatu singkatan atau kata pendek bagi perbuatan yang dirumuskan didalam pasal tersebu ?, ataukah juga mempunyai arti sendiri, lepas dari penentuan unsur-unsur, sehingga ada dua batasannya untuk perbuatan yang dilarang ?, yaitu
1. Batasan menurut unsur-unsurnya dan ;
2. menurut pengertian yang umum (kualifikasi).
Dalam pengertian Memorie van Tpelichting ( MvT ) tidak ada keraguan-keraguan bahwa maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan kualifikasi disamping penentuan unsur-unsur, hal ini hanya sekedar untuk memudahkan penyebutan perbuatan yang dilarang saja.
Seperti laksana suatu etikat untuk apa yang terkandung dalam rumusan, akan tetapi, demikian Van Hattum dalam praktek peradilan ada tendens atau gelagat untuk memberi arti tersendiri kepada kualifikasi.
Misalnya dalam putusan Hoog Raad tahun 1927 mengenai penadahan dimana diputuskan bahwa pencuri yang menjual barang yang dicuri menarik keuntungan, tak mungkin dikenai pasal tentang penadahan, sekalipun dengan apa yang diperbuatnya itu.
Semua unsur-unsur yang ada dalam pasal 480 telah dipenuhi. sebab pasal ini maksudnya adalah untuk mempermudah dilakukannya kejahatan lain.
Perbuatan itu dilakukan oleh orang lain dari orang yang melakukan kejahatan lain, dan dari mana barang tadi didapatnya. Juga dalam teori, hal itu menjadi persoalan.
Kalau ada orang lain yang kecurian sesuatu barang, kemudian orang tadi pergi ke tempat pasar loak, dan ternyata ia melihat barangnya ada disitu kemudian ia membeli barangnya tadi, apakah orang itu juga dapat di tuntut karena pasal 480 ?
Menurut unsur-unsurnya, perbuatanya masuk dalam pasal tersebut, dia membeli barang yang diketahuinya berasal dari kejahatan ( kerena sudah jelas-jelas ia mengetahui kalau barang yang dibeli itu adalah miliknya sendiri yang hilang karena dicuri orang ), akan tapi bertalian dengan persoalan tersebut, ada juga yang mengatakan : bahwa orang tadi sesungguhnya tidak “membeli“ barang tersebut, sebab itu adalah barangnya sendiri, sehingga tidak mungkin dinamakan penadahan. Jadi tidak masuk dalam kualifikasi pasal 480 KUHP, sekalipun unsur-unsur telah dipenuhi .
Jika sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari tiap-tiap delik, dan sifat melawan hukum itu dipandang secara material, lalu apa artinya ?, hal inilah merupakan tugas Hakim Hakim untuk mengkaji dan menelaah atas kasus dimaksud.
Sedikit akan saya coba ambil narasai dari suatu delik misalnya dalam pasal 362 KUHP mengenai pencurian, yang penting ialah kelakuan untuk memindahkan penguasan barang yang telah dicuri, dalam kelakuan dirumuskan sebagai “mengambil”, dan akibat dari pengambilan tadi, misalnya dalam pencurian sepeda, bahwa si korban lalu harus jalan kaki sehingga jatuh sakit, tidak dipandang penting dalam formularing dalam pencarian.
Biasanya yang dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan (pasal 351 KUHP) dan pembunuhan (pasal 338) karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit atau matinya orang yang dianiaya atau dibunuh.
Perlu diajukan pula, adanya rumusan-rumusan yang formal-material, artinya disitu yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tapi juga akibatnya.
Contohnya adalah pasal 378 KUHP yaitu penipuan, akibatnya yaitu bahwa orang yang ditipu tergerak hatinya dan menyerahkan barang sesuatu kepada orang yang menipu, mengingatkan pada rumusan yang material. meskipun demikian tidak tiap-tiap cara untuk menggerak hati orang yang ditipu, masuk dalam pengertian penipuan menurut pasal 378, disini terang ada rumusan formal.
Pertanyaannya mengenai perumusan delik saja, apakah perlunya diadakan perbedaan ?
jawabanya adalah oleh karena perbedaan perumusan itu disatu pihak mempunyai konsenkuensi lain dalam pembuktian ; dipihak lain, bertalian dengan yang pertama berlainan juga pengaruhnya kepada masyarakat, apakah suatu perbuatan yang perlu dilarang dengan sangsi pidana dirumuskan secara formil atau materil ?, hal ini ternyata dalam sejarah pasal 154 KUHP yang dulunya dirumuskan secara material, dan kemudian untuk memudahkan pembuktian diubah menjadi formal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NORMA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Ada 5 (Lima) Macam Meta Norma 1. Norma pengakuan (norma perilaku mana yang di dalam masyarakat hukum tertentu harus dipatuhi, misalnya larangan undang-undang berlaku surut); 2. Norma perubahan (norma yang menetapkan bagaimana suatu norma perilaku dapat diubah, misalnya undang-undang tentang perubahan); 3. Norma kewenangan (norma yang menetapkan oleh siapa dan dengan melalui prosedur yang mana norma perilaku ditetapkan dan bagaimana norma perilaku harus diterapkan, misalnya tentang kekuasaan kehakiman). 4. Norma definisi; dan 5. Norma penilaian. “ISI NORMA MENENTUKAN WILAYAH PENERAPAN” “ISI NORMA BERBANDING TERBALIK DENGAN WILAYAH PENERAPAN” Dalil di atas menyatakan bahwa semakin sedikit isi norma hukum memuat ciri-ciri, maka wilayah penerapannya semakin besar. Sebaliknya, semakin banyak isi norma hukum memuat ciri-ciri, maka wilayah penerapannya semakin kecil. Perumusan norma hukum digantungkan pada pembentuk peraturan, apakah akan memuat banyak ciri-ciri atau tidak. J

DIFINISI SURAT KUASA DAN SYARAT-SYARATNYA PEMBEUATAN SURAK KUASA KHUSUS

Penggunaan surat kuasa saat ini sudah sangat umum di tengah masyarakat untuk berbagai keperluan. Awalnya konsep surat kuasa hanya dikenal dalam bidang hukum, dan digunakan untuk keperluan suatu kegiatan yang menimbulkan akibat hukum, akan tetapi saat ini surat kuasa bahkan sudah digunakan untuk berbagai keperluan sederhana dalam kehidupan masyarakat. Apa sebenarnya definisi surat kuasa ? * Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga keluaran Balai Pustaka mendefinisikan surat kuasa sebagai “Surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu”. * Gramatikal bahasa Inggris, definisi surat kuasa atau Power of Attorney adalah sebuah dokumen yang memberikan kewenangan kepada seseorang untuk bertindak atas nama seseorang lainnya (a document that authorizes an individual to act on behalf of someone else). * Rachmad Setiawan dalam bukunya berjudul “Hukum Perwakilan dan Kuasa” mengatakan pengaturan tentang surat kuasa di KUHPerdata sebenarnya mengatur so

ANALISA S-W-O-T

ANALISA SWOT Oleh : MOHAMAD SHOLAHUDDIN, SH Analisa SWOT adalah sebuah bentuk analisa situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisa ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Satu hal yang harus diingat baik-baik oleh para pengguna analisa SWOT, bahwa analisa SWOT adalah semata-mata sebuah alat analisa yang ditujukan untuk menggambarkan situasi yang sedang dihadapi atau yang mungkin akan dihadapi oleh organisasi, dan bukan sebuah alat analisa ajaib yang mampu memberikan jalan keluar yang cespleng bagi masalah-masalah yang dihadapi oleh organisasi. Analisa ini terbagi atas empat komponen dasar yaitu : o Strength (S) kekuatan : adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari organisasi atau program pada saat ini. o Weakness (W) kelemahan : adalah situasi atau kondisi yang merupakan kelemahan dari organisasi atau program pada saat ini. o Opportunity (O) peluang : a