Langsung ke konten utama

PENYIMPANGAN PENGAMBILAN SUMPAH ADVOKAT

PENYIMPANGAN PENGAMBILAN SUMPAH ADVOKAT

Ketentuan Umum tentang Sumpah Jabatan dan/atau Profesi :

Nilai moralitas yang dituntut dari suatu jabatan dan/atau profesi diantaranya adalah berani berbuat dan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan jabatan dan/atau profesi, menyadari kewajiban yang harus dipenuhi dalam menjalankan jabatan dan/atau profesi serta idealisme yang tinggi sebagai perwujudan makna misi organisasi profesi sementara kode etik profesi menjadi hukum tertinggi dalam menjalankan profesinya, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban profesi untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada pengguna jasa profesi tersebut, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri. Seperti halnya profesi advokat yang harus tunduk dan mematuhi kode etiknya.



Sumpah jabatan dan/atau profesi jika dihubungkan dengan pengertian sumpah secara umum yaitu suatu peryataan dengan penuh khikmad yang diucapkan pada waktu mengucapkan sumpah atau janji atau keterangan yang terkait dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

Adapun definisi sumpah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka : 1990) sebagai berikut.

1. pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dsb);
2. pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan dsb tidak benar;
3. janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).

Pengaturan sumpah jabatan dan/atau profesi ini pada umumnya berbeda dari profesi yang satu terhadap profesi lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang maupun peraturan profesi masing-masing, namun tentang sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden mendapat tempatnya secara khusus di dalam Undang- Undang Dasar 1945 yaitu dalam Pasal 9, “Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut…”



Sumpah/janji jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang dimuat dalam UUD 1945 tersebut mengandung maksud didalamnya yaitu adanya pemikiran bahwa untuk mewujudkan cita-cita penyelenggaraan negara di dalam Pembukaan UUD 1945 hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab sebagaimana nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap bunyi sumpah jabatan dan/atau profesi masing-masing.



Non Kompetensi Ketua Pengadilan Tinggi Dalam Pengambilan Sumpah Advokat

Ketentuan mengenai profesi advokat diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yaitu:

Pasal 2 ayat (2)

“Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat” berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Pasal 3 ayat (1) yaitu:

“Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. warga negara Republik Indonesia;

b. bertempat tinggal di Indonesia;

c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;

d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;

e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);

f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;

g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor

Advokat;

h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang

diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas

yang tinggi.”



Pasal 4 ayat (1):

“Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.”



Berdasarkan bunyi ketentuan diatas secara normatif seseorang yang hendak berprofesi sebagai advokat harus memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam Pasal 3 ayat (1) diatas dan sebelum menjalankan profesinya untuk memberikan pelayanan jasa hukum kepada pencari keadilan harus diambil sumpahnya yang dilakukan di sidang terbuka pengadilan tinggi di wilayah domisili hukumnya. Pengambilan sumpah ini sifatnya adalah imperatif, tidak dipenuhinya syarat ini seorang advokat tidak dapat menjalankan profesinya, namun Undang-Undang Advokat sendiri tidak menentukan lebih lanjut tentang pelaksanaannya terkait dengan siapakah yang berwenang mengangkat sumpah tersebut.



Praktek pengambilan sumpah advokat secara langsung oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesudah berlakunya Undang-Undang Advokat menimbulkan pertanyaan penting terhadap eksistensi kebebasan dan kemandirian advokat sebagaimana yang menjadi tujuan dibentuknya Undang-Undang Advokat yaitu untuk mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian Advokat dengan tetap seperti dalam pengangkatan, pengawasan dan penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi advokat yang kuat di masa mendatang.



Pertanyaannya adalah berdasarkan kompetensi apakah Ketua Pengadilan Tinggi mengambil sumpah secara langsung terhadap advokat yang telah diangkat oleh organisasi advokat?



Bunyi ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat secara litterlijk terbaca dengan jelas bahwa kompetensi Pengadilan Tinggi terbatas hanya kepada membuka sidang untuk organisasi advokat dalam mengambil sumpah anggotanya yang telah diangkat sebagai advokat melalui cara-cara yang diatur oleh Undang-Undang Advokat yang dijalankan oleh organisasi advokat tersebut.



Pelaksanaan pengambilan sumpah itu sendiri dilakukan oleh organisasi advokat tersebut dan bukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi sebagaimana yang menjadi praktek selama ini karena adanya petunjuk dari Mahkamah Agung vide Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pengambilan Sumpah Advokat tanggal 29 Maret 2007 dengan petunjuknya menyatakan bahwa, “Pengambilan sumpah dilakukan oleh Ketua atau, jika berhalangan, oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi dengan memakai toga dalam suatu sidang yang terbuka untuk umum, tanpa dihadiri oleh Panitera”.



Meskipun Mahkamah Agung adalah lembaga tertinggi kekuasaan kehakiman berdasarkan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya namun Surat Edaran tentang pengambilan sumpah advokat yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi tersebut merupakan suatu kekeliruan dalam mengimplementasikan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat.



Pengambilan sumpah advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi sebagaimana petunjuk dari Ketua Mahkamah Agung ini merupakan suatu perbuatan yang tidak berdasar pada hukum in casu Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat dan berada diluar kewenangannya (ultra vires) serta melampaui maksud dan tujuan dibentuknya Undang- Undang Advokat untuk menciptakan kebebasan dan kemandirian advokat sebagai penegak hukum yang kedudukan (dominus) dan kepentingannya (geston) adalah setara dan/atau sederajat dengan lembaga kehakiman itu sendiri dalam proses penegakan hukum.



Secara politis pengambilan sumpah advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi juga mengarah kepada bentuk intervensi terhadap kebebasan dan kemandirian advokat karena tanpa adanya sumpah profesi ini sangat potensial menderogasi syarat konstitutif lainnya yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Advokat tentang persyaratan advokat yang antara lain menyangkut cara organisasi advokat dalam mendidik (recruitment) calon advokat melalui kurikulum pendidikannya yang ditentukan melalui ujian dan adanya ketentuan waktu dalam menempuh proses magang bagi calon advokat. Dengan segala persyaratan berat ini yang dijalankan oleh organisasi advokat untuk melaksanakan perintah Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Advokat dalam hal pengangkatan advokat, pertanyaannya adalah apakah kewenangan organisasi advokat ini harus diserahkan kepada lembaga yudikatif in casu pengambilan sumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi?



Lebih lanjut pengambilan sumpah ini bukanlah syarat konstitutif sebagaimana yang bisa ditemukan dalam Memorie van Toelichting (MvT) pembentukan Undang-Undang Advokat yaitu hanya sebatas seremonial saja yang tujuannya adalah demi mendapatkan nilai-nilai keagungan profesi advokat sebagai suatu profesi yang mulia (officium nobilier).



Kembali dapat diajukan pertanyaan, dapatkah hal yang sifatnya seremonial meruntuhkan syarat-syarat yang sifatnya imperatif in casu Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Advokat? Tentu tidak! Karena dengan adanya kewenangan Ketua Pengadilan Tinggi dalam mengambil sumpah advokat tanpa alas hukum (rechts grondslag) yang sah berimplikasi negatif terhadap upaya pengembangan organisasi advokat yang kuat.



Ketua Pengadilan Tinggi dapat saja menghilangkan bagian konsideran pengang- katan advokat oleh organisasi dalam Berita Acara Pengambilan Sumpah-nya. Hal inilah yang lebih jauh dapat memandulkan kewenangan Dewan Kehormatan dalam penegakan kode etik profesi untuk mencabut hak dan kewajiban sebagai advokat ketika terjadi pelanggaran kode etik sepanjang masih berlakunya Berita Acara Pengangkatan Sumpah tersebut dalam menjalankan profesinya atau dengan rumusan : pencabutan keanggotaan sebagai advokat oleh Organisasi Advokat cq. Dewan Kehormatan Penegak Kode Etik tidak secara mutatis mutandis mencabut Berita Acara Pengambilan Sumpah yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi karena tidak adanya bagian konsideran perihal pengangkatan advokat tersebut oleh organisasi advokat.



Oleh karena itu pengambilan sumpah advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi harus dihentikan sebagai bentuk penyimpangan hukum karena tidak adanya alas hukum (rechts grondslag) yang sah untuk melakukan hal itu kecuali Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat yaitu hanya kepada membuka sidang untuk organisasi advokat dalam mengambil sumpah anggotanya yang telah diangkat sebagai advokat melalui cara-cara yang diatur oleh Undang-Undang Advokat yang dijalankan oleh organisasi advokat tersebut. Terakhir, Sumpah Profesi Advokat hanya dimaksudkan sebagai pengakuan dan kepatuhan terhadap Kode Etik saja!

Komentar

  1. Advokat adalah profesi yang mulia karena berupaya selalu menegakkan hukum. Apapun alasannya, sepanjang Pasal 4 ayat (1) itu masih berlaku, maka tidak ada alasan apapun untuk tidak menegakkannya dengan cara mematuhi dan mentaati Pasal 4 ayat (1) UU No.18/2003 tentang Advokat.

    Aneh rasanya, mengaku Penegak Hukum namun mengabaikan hukum itu sendiri, khususnya Pasal 4 ayat (1).

    BalasHapus
  2. Akal-akalan untuk mengabaikan Pasal 4 UU No.18/2003 merupakan sebuah "pelarian" dari kekalahan menghadapi Organisasi Advokat yang sah yang dibentuk oleh UU No.18/2003, yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (disingkat "PERADI").

    Karena hanya PERADI lah yang berhak untuk mengangkat dan mengusulkan Calon Advokat untuk diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 UU No.18/2003 tentang Advokat.

    Mari kita bangun Indonesia dengan menaati hukum dan mematuhinya agar tercipta ketertiban diantara masyarakat Indonesia, dan bukan sebaliknya dengan mengajak masyarakat untuk melawan hukum.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

NORMA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Ada 5 (Lima) Macam Meta Norma 1. Norma pengakuan (norma perilaku mana yang di dalam masyarakat hukum tertentu harus dipatuhi, misalnya larangan undang-undang berlaku surut); 2. Norma perubahan (norma yang menetapkan bagaimana suatu norma perilaku dapat diubah, misalnya undang-undang tentang perubahan); 3. Norma kewenangan (norma yang menetapkan oleh siapa dan dengan melalui prosedur yang mana norma perilaku ditetapkan dan bagaimana norma perilaku harus diterapkan, misalnya tentang kekuasaan kehakiman). 4. Norma definisi; dan 5. Norma penilaian. “ISI NORMA MENENTUKAN WILAYAH PENERAPAN” “ISI NORMA BERBANDING TERBALIK DENGAN WILAYAH PENERAPAN” Dalil di atas menyatakan bahwa semakin sedikit isi norma hukum memuat ciri-ciri, maka wilayah penerapannya semakin besar. Sebaliknya, semakin banyak isi norma hukum memuat ciri-ciri, maka wilayah penerapannya semakin kecil. Perumusan norma hukum digantungkan pada pembentuk peraturan, apakah akan memuat banyak ciri-ciri atau tidak. J

DIFINISI SURAT KUASA DAN SYARAT-SYARATNYA PEMBEUATAN SURAK KUASA KHUSUS

Penggunaan surat kuasa saat ini sudah sangat umum di tengah masyarakat untuk berbagai keperluan. Awalnya konsep surat kuasa hanya dikenal dalam bidang hukum, dan digunakan untuk keperluan suatu kegiatan yang menimbulkan akibat hukum, akan tetapi saat ini surat kuasa bahkan sudah digunakan untuk berbagai keperluan sederhana dalam kehidupan masyarakat. Apa sebenarnya definisi surat kuasa ? * Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga keluaran Balai Pustaka mendefinisikan surat kuasa sebagai “Surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu”. * Gramatikal bahasa Inggris, definisi surat kuasa atau Power of Attorney adalah sebuah dokumen yang memberikan kewenangan kepada seseorang untuk bertindak atas nama seseorang lainnya (a document that authorizes an individual to act on behalf of someone else). * Rachmad Setiawan dalam bukunya berjudul “Hukum Perwakilan dan Kuasa” mengatakan pengaturan tentang surat kuasa di KUHPerdata sebenarnya mengatur so

ANALISA S-W-O-T

ANALISA SWOT Oleh : MOHAMAD SHOLAHUDDIN, SH Analisa SWOT adalah sebuah bentuk analisa situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisa ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Satu hal yang harus diingat baik-baik oleh para pengguna analisa SWOT, bahwa analisa SWOT adalah semata-mata sebuah alat analisa yang ditujukan untuk menggambarkan situasi yang sedang dihadapi atau yang mungkin akan dihadapi oleh organisasi, dan bukan sebuah alat analisa ajaib yang mampu memberikan jalan keluar yang cespleng bagi masalah-masalah yang dihadapi oleh organisasi. Analisa ini terbagi atas empat komponen dasar yaitu : o Strength (S) kekuatan : adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari organisasi atau program pada saat ini. o Weakness (W) kelemahan : adalah situasi atau kondisi yang merupakan kelemahan dari organisasi atau program pada saat ini. o Opportunity (O) peluang : a